Oleh: Hafiyah Yahya
Hari Sabtu malam, 7 Desember 2024, seorang komandan senior Hay’at Tahrir al-Sham (HTS), Hassan Abdul-Ghani, tampak hendak meyakinkan seluruh pihak di Suriah bahwa mereka ingin menghilangkan segala perpecahan dan mengakhiri era sektarianisme.
“Kami meminta agar semua sekte (kelompok agama) merasa yakin, bahwa era sektarianisme dan tirani telah berakhir selamanya,” kata Ghani saat HTS menguasai kota Homs, Suriah.
Pernyataan Ghani itu merujuk pada rezim Bashar Al-Assad yang dinilai sebagai tirani, yang menghambat terciptanya pemerintahan yang demokratis. Sayangnya, usai Assad tumbang, Israel justru kian agresif menyerang Suriah yang telah lama ingin dicaplok oleh rezim Zionis Israel, untuk dijadikan wilayah Greater Israelatau Israel Raya.
Perlu diketahui, HTS atau Organisasi Pembebasan Syam pada tahun 2018 ditetapkan sebagai organisasi teroris oleh Amerika Serikat, menyusul pendahulunya, Jabhat al-Nusra atau Front al-Nusra yang terafiliasi dengan Al-Qaeda (cikal bakal kelompok ISIS). Sejak dibentuk pada 2011 di Suriah, Jabhat al-Nusra menentang rezim Assad yang sudah 24 tahun memimpin Suriah.
Namun, pada tahun 2016 pemimpin al-Nusra, Abu Mohammad al-Jolani membubarkan Jabhat al-Nusra dan membentuk Jabhat Fatah al-Sham, yang kemudian kembali berganti nama dan bergabung dengan sejumlah kelompok oposisi lokal dengan nama Hay’at Tahrir al-Sham pada 2017.
Israel Serang Suriah, ‘Rantai Perjuangan’ Kemerdekaan Palestina Terpecah?
Israel menyerang sejumlah lokasi di Suriah, utamanya pangkalan-pangkalan militer, pasca-tumbangnya Assad. Seolah tidak ingin kehilangan sedetikpun waktu untuk menyerang Suriah di momen-momen yang rentan, Israel langsung mengerahkan tank-tanknya ke wilayah Suriah pada hari Ahad 8 Desember, tatkala mendengar informasi jatuhnya pemerintahan Assad.
Israel bahkan menerobos zona penyangga di Dataran Tinggi Golan, yang ditetapkan dalam perjanjian tahun 1974 antara Israel dan Suriah. Utusan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Suriah, Geir Pedersen, menyatakan bahwa pendudukan Israel atas wilayah demiliterisasi tersebut adalah pelanggaran perjanjian pemisahan pada tahun 1974.
Langkah merebut zona penyangga itu merupakan perintah dari Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Menteri Pertahanan Israel Israel Katz. Israel mencaplok sebagian besar Dataran Tinggi Golan dari Suriah pada tahun 1967, meskipun langkah itu tidak pernah diakui komunitas internasional. Netanyahu menilai kejatuhan Assad sebagai hari bersejarah dalam sejarah Timur Tengah. “Hal itu adalah akibat langsung dari serangan kami terhadap Hizbullah dan Iran, pendukung utama Assad,” kata Netanyahu.
Iran yang juga sekutu Suriah meyakini, gerakan penggulingan Assad oleh kelompok oposisi yang dipimpin HTS adalah hasil konspirasi bersama antara Amerika Serikat dan Israel. Hal itu disampaikan oleh Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatullah Ali Khamenei, Kamis 11 Desember 2024. “Para konspirator, perencana, dan ruang komando utama berada di AS dan rezim Zionis. Kami memiliki bukti, dan indikasi ini tidak menyisakan ruang untuk keraguan”, kata Khamenei.
Sejatinya, rezim Assad selama ini turun tangan membantu negara poros perlawanan lainnya untuk memperjuangkan kemerdekaan Palestina yang tengah dijajah oleh Israel. Oleh sebab itu, tumbangnya Assad menjadi pukulan telak bagi pendukung poros perlawanan, yakni Iran. Runtuhnya pemerintahan Assad menandakan terputusnya akses darat Iran pada sekutu utamanya di Lebanon, Hizbullah, Hamas di Gaza, Palestina, dan Yaman.
Meski begitu, Ali Khamenei menegaskan, Iran tetap kuat dan berkuasa, bahkan tumbuh lebih kuat lagi. Artinya, bisa jadi sudah ada strategi lain yang disiapkan Iran untuk tetap melancarkan perlawanannya terhadap Israel, yang belakangan kian agresif menyerang Suriah.
Buktinya, perlawanan demi perlawanan masih dilancarkan sejumlah kelompok pejuang kemerdekaan Palestina usai Israel membombardir Suriah. Sayap militer gerakan perlawanan Hamas, Brigade Al-Qassam, bahkan masih mampu menghancurkan sejumlah kendaraan tempur Israel yang bernilai jutaan dollar Amerika.
Angkatan Bersenjata Yaman (YAF) juga masih melawan, di antaranya menargetkan area operasi militer Israel di Tel Aviv, seperti yang disampaikan YAF hari Senin 9 Desember 2024. Selain itu, Yaman juga menargetkan kapal perang dan kapal kargo Amerika Serikat yang melintasi Teluk Aden pada 10 Desember lalu.
Akankah HTS Ikut Melawan Israel?
Jika poros perlawanan menegaskan masih akan terus menentang rezim zionis Israel, lantas bagaimana dengan HTS? Apakah ada keinginan dari mereka untuk turut angkat senjata melawan penjajahan Israel terhadap bangsa Palestina? Pada 11 Desember 2024, saat ditanya soal rencananya untuk melawan serangan Israel ke Suriah, pemimpin HTS, Abu Mohammad al-Jolani menjawab bahwa ia tidak akan berperang dengan Israel, dan justru menilai Hizbullah sebagai ancaman.
“Suriah tidak akan memasuki perang baru (dengan Israel). Negara ini tidak siap untuk melakukan perang lain. Ancaman terbesar kami adalah Hizbullah dan milisi Syiah di Suriah yang didukung Iran,” ujar Jolani.
Pernyataan Jolani tersebut hanya berselang dua hari setelah pernyataan yang dibuat Senior HTS Hassan Abdul-Ghani, bahwa ia mengklaim HTS hendak mengakhiri era sektarianisme di Suriah. Di sisi lain, kelompok-kelompok yang disebut oleh al-Jolani sebagai ancaman terbesar adalah poros perlawanan yang selama ini mengangkat senjata melawan Israel dalam memperjuangkan kemerdekaan Palestina.
Pada akhirnya, sikap al-Jolani menjadi penegasan bahwa HTS tidak akan melawan Israel dan membuat janji HTS untuk menghapus sektarianisme di Suriah menjadi kian meragukan. Menariknya, eks perwira Intelijen Militer Israel sekaligus pengamat Timur Tengah, Mordechai Kedar, mengatakan, ia telah berkomunikasi dengan senior di HTS yang menyatakan bahwa HTS tertarik untuk menormalisasi hubungan dengan rezim Israel. “Mereka (HTS) akan membuka kedutaan besar Israel di Damaskus dan Beirut, begitu juga di Yerusalem”, ujar Kedar.
Israel Masih Menggencarkan Genosida di Palestina
Seiring dengan serangan yang dilancarkan Israel ke Suriah, pasukan zionis Israel juga masih melancarkan kejahatan genosida di penjuru Gaza, dan Tepi Barat, Palestina. Di Gaza, korban genosida Israel melampaui 186 ribu jiwa, berdasarkan hasil studi yang dipublikasikan di jurnal medis Lancet pada 5 Juli 2024.
Euro-Med Human Rights Monitor pada 14 Oktober 2024 juga melaporkan, lebih dari 400.000 warga Palestina di Gaza Utara akan ‘terbunuh’ oleh kelaparan yang diakibatkan oleh agresi dan blokade Israel di penjuru Gaza. Pada 9 Desember 2024 lalu di Rafah, Israel melancarkan serangan untuk kesekian kalinya terhadap warga Gaza yang tengah berbaris untuk membeli tepung. Sedikitnya 10 orang dalam barisan itu terbunuh.
Sementara itu, situasi berat juga dihadapi lebih dari seratus pasien di Rumah Sakit Kamal Adwan di Gaza Utara, yang terus menerus diserang oleh Israel melalui serangan bom dan tembakan senjata api. Direktur RS Kamad Adwan, Hussam Abu Safiya, mengatakan 112 pasien termasuk 14 anak berada dalam kondisi bahaya akibat terputusnya suplai listrik, oksigen, dan air, sebagai dampak serangan Israel. Beberapa hari sebelumnya, pada hari Jumat, serangan Israel membunuh empat tenaga medis RS Kamal Adwan.
Meski pemerintahan Bashar al-Assad di Suriah telah berakhir, dukungan bagi rakyat Palestina dan solidaritas untuk melawan zionis Israel diharapkan tetap terus mengalir. Harapan itu disampaikan sejumlah kelompok perlawanan Palestina termasuk Hamas. Mereka juga mengutuk keras serangan Israel ke Suriah dan berharap rakyat Suriah dapat menentukan masa depan mereka yang lebih baik.
Kelompok perlawanan di Lebanon, Hizbullah, juga mengutuk agresi Israel ke Suriah yang didukung Amerika Serikat. “Kami akan tetap menjadi pilar pendukung bagi Suriah dan rakyatnya dalam memperjuangkan hak mereka untuk membentuk masa depan, dan menghadapi musuh mereka, yakni Israel, yang merampas kedaulatan rakyat”, ujar Hizbullah dalam pernyataan resminya.
Untuk menghadapi kejahatan Israel yang tiada habisnya, dibutuhkan persatuan, utamanya persatuan rakyat di jazirah Arab. Namun sebagian rakyat terpecah oleh isu sektarianisme yang menjadi strategi kolonial Amerika Serikat dan Israel. Isu sektarianisme menjadi jalan pintas kaum imperialis untuk memecah belah sebuah bangsa yang beragam, seperti Suriah, yang terdiri dari masyarakat Sunni, Syiah, Alawit, Kristen, Kurdi dan lain sebagainya.
Persatuan jualah yang sejatinya bisa menumbangkan tirani di dalam negeri, tidak hanya di Suriah, tetapi juga tirani di tubuh pemerintahan sekutu-sekutu Israel, seperti Mesir yang memiliki lebih dari 60.000 tahanan politik, atau Arab Saudi yang memenjarakan sekitar 50.000 tahanan politik, begitu juga dengan Bahrain, Uni Emirat Arab, Yordania, hingga Maroko yang sama-sama memiliki ratusan hingga ribuan tahanan politik.